DONGGALA – Proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Banawa Selatan menjadi salah satu proyek dengan denda keterlambatan terbesar di Kabupaten Donggala. Bayangkan saja, denda keterlambatan proyek yang berada di Desa Mbuvu itu tembus diangka Rp230 juta.
Besarnya denda keterlambatan itu disebabkan proyek yang masih berjalan hingga bulan April 2019. Anehnya, proyek dengan pagu anggaran sebesar Rp5 miliar tersebut telah dibuat berita acara pemeriksaan barang serah terima pertama atau provisional hand over (PHO) pada tanggal 31 Oktober 2018.
Hebatnya lagi, pembayaran telah direalisasikan 100 persen. Padahal pekerjaan dilapangan belum selesai. Rincian pembayaran proyek ini terbagi menjadi 4 tahap. Pada tahap pertama, pembayaran tercatat pada 22 Mei 2018 dengan nilai Rp1 miliar. Tahap kedua pada 30 Juli sebesar Rp2,5 miliar. Kemudian tahap ketiga sebesar Rp1,2 miliar pada 17 Desember dan tahap keempat Rp253 juta di 27 Desember.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dilapangan pada tanggal 20 April 2019, ternyata masih terdapat pekerjaan yang belum selesai. Hasil pemeriksaan BPK bersama pengawas teknis lapangan dan pihak PT PJA menunujukan masih ada pekerjaan galian untuk pipa HDPE dari intake ke Instalasi pengolah air (IPA), reservoir dan jaringan.
Hasil pemeriksaan BPK itu justeru bertolak belakang dengan pernyataan Ngo Hendrik selaku kontraktor. Menurutnya, pada 28 September lalu, pekerjaan SPAM tersebut sudah 97 persen. Atas dasar itu, pihaknya mengajukan PHO dengan memberikan jaminan pemeliharaan 5 persen. Menurut Ngo Hendrik, soal pekerjaan di tahun 2019 adalah pekerjaan perbaikan dan pemiharaan akibat dampak gempa. “Intinya pekerjaan sudah PHO dan bermanfaat,” tulisnya dalam pesan WA.
Pernyataan pihak kontraktor sedikit terkesan aneh. Pasalnya proses perbaikan akibat dampak gempa lebih lama ketimbang proses pekerjaan sebelum gempa. Berdasarkan nomor kontrak 600.02-01/KONT/BCK-PJABAM/DAK/PEN/DPUPR/III/2018 per tanggal 18 Mei, ternyata pelerjaan sudah dimulai sejak bulan Mei. Hingga September, bobot pekerjaan sudah 97 persen. Namun setelah dampak bencana, proses perbaikan dan pemeliharaan memakan waktu lebih dari 6 bulan. Hal ini sesuai dengan hasil pemeriksaan BPK pada 20 April yang masih menujukan adanya pekerjaan galian pipa HDPE.
Sementara itu PPTK proyek tersebut, Niko mengatakan, pada bulan September bobot pekerjaan sudah sekitar 90 persen lebih. Namun Niko mengaku pada waktu itu jaringan Sambungan Rumah (SR) memang belum terpasang. “Sebelum gempa itu SR belum terpasang, tapi sudah dirakit semua,” ungkapnya.
Niko mengaku pekerjaan yang dilakukan pada tahun 2019 adalah proses perbaikan yang dilakukan kontraktor setelah gempa. Namun kata Niko, BPK menganggap pekerjaan itu bagian dari keterlambatan dan didenda. “Anggapan BPK Dia itu terlambat. BPK tidak mau tau itu. Pekerjaan itu harus didenda karena terlambat. Kita mau bilang apalagi, itu sudah hasil keputusan auditnya BPK,” katanya. (ang)